Jumat, 06 Juli 2012

Altruisme

ALTRUISME NASIONALIS

A.    NILAI HIDUP
Nilai adalah ukuran (pada diri seseorang) tentang sesuatu (sikap, kata, situasi, dan lain-lain) yang dapat mempengaruhi perilakunya. Nilai selalu mempunyai kaitan dengan norma atau petunjuk-petunjuk agar mempunyai hidup serta perilaku yang baik. Hidup merupakan seluruh aspek yang bertalian dengann manusia serta kemanusiaannya; dalam hubungannya dengan sesame dan Ilahi. Jadi, nilai hidup merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap, kata, perbuatan manusia sesuai situasinya.
Dalam mempelajari ilmu seperti halnya filsafat, ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup manusia, yaitu:
1.      Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
2.      Pendekatan Epistemologi
Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkikan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu. Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup manusia, dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.
3.      Pendekatan Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk itu ilmu yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

B.     ILMU BEBAS NILAI
Dalam artikel Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains (2007), dikatakan bahwa memang seringkali para ilmuwan terpengaruh oleh tradisi budaya mereka dalam menyusun suatu ilmu. Pengaruh dari nilai luar selain nilai pengetahuan itu sendiri memang sulit untuk dihindari. Karena setiap orang, setiap ilmuwan dan para peneliti pun mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan latar belakang tersebut menyangkut tradisi, nilai-nilai agama, moral, sosialisasi, ekonomi, sampai kondisi politik masing-masing negara mereka pun berbeda. Perbedaan nilai-nilai dalam latar belakang setiap orang itulah yang seringkali menyebabkan sangat sulit untuk terciptanya suatu ilmu yang memang benar-benar bebas nilai.
Namun, kesulitan inilah yang menjadi tantangan bagi setiap ilmuwan. Bagaimana mereka harus bisa menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang benar-benar ilmiah dan mengandung kebenaran secara utuh. Ilmu pengetahuan itu pun juga hendaknya bersifat universal yang dapat diakui kebenarannya di mana pun oleh semua orang. Nilai dari ilmu itu juga hendaknya dapat berguna bagi seluruh masyarakat. Jadi ilmu pengetahuan yang diciptakan tidak sekedar hanya dapat berlaku bagi semua pihak saja, tapi juga harus bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
Ilmu ialah suatu bidang studi atau pengetahuan yang sistematik untuk menerangkan suatu fenomena dengan acuan materi dan fisiknya melalui metode ilmiah. Sedangkan pengetahuan merupakan sesuatu yang diketahui, hal yang diketahui bisa apa saja tanpa syarat dan bisa diperoleh dengan atau tanpa metode ilmiah (Marzoeki, 2000). Maka itu, jika pengetahuan saja, belum tentu merupakan suatu ilmu. Suatu ilmu pengetahuan harus berdasar pada kaidah ilmiah dan menjadi dirinya sendiri (Keraf & Dua, 2001).
Suatu ilmu pengetahuan juga dituntut untuk bebas nilai. Maksud bebas nilai adalah suatu tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai di luar ilmu pengetahuan (Keraf & Dua, 2001). Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan dan tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan harus murni dikembangkan berdasarkan pertimbangan ilmiah.
Nilai lain di luar nilai ilmu pengetahuan itu sendiri seperti nilai budaya, moral, agama, politik, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan tidak boleh berpihak atau terpengaruh oleh salah satu nilai tersebut. Hal itu agar ilmu pengetahuan dapat berlaku di mana pun juga bagi semua orang. Juga supaya ilmu pengetahuan mengandung kebenaran yang utuh. Dalam artikel Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains (2007), juga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan memiliki sifat yang netral dan universal.
Ilmu pengetahuan yang bebas nilai juga bertujuan agar ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran ilmiah yang objektif dan rasional (Keraf & Dua, 2001). Tidak dibenarkan bila suatu ilmu pengetahuan hanya berlaku bagi kepentingan suatu pihak tertentu. Jika demikian maka ilmu pengetahuan tidaklah bersifat universal. Maka suatu ilmu pengetahuan yang bebas nilai amatlah penting. Hal itu untuk mencapai tujuan akhir diciptakannya ilmu pengetahuan. Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan ini ialah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang fenomena dalam alam semesta ini, serta memberi pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah dan fenomena dalam hidup (Keraf & Dua, 2001).
Contoh kasus ilmu bebas nilai yaitu misalnya seorang ilmuwan yang yakin berdasarkan keahlianmu, bahwa prenatal diagnosis dapat mencegah lahirnya anak-anak cacat, dan bahwa ketika mendeteksi embrio dalam kandungan ternyata ditemukan embrio cacad, karena itu harus digugurkan. Perhitungan keilmuan yang bebas nilai akan mengatakan bahwa menggugurkan kandungan itu dilakukan secara ilmiah dengan menerapkan teknologi reproduksi semata-mata demi alasan keilmuan (objektivitas ilmu), tidak peduli nilai dalam masyarakat akan mengatakan apa (itu bukan urusan ilmu pengetahuan). Tetapi ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai (value laden) akan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan pengembangannya tidak boleh melupakan begitu saja nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang pro pada pendekatan ini akan mengatakan bahwa menggugurkan kandungan karena alasan bayinya cacad tidak bisa dibenarkan secara etika, apalagi agama.
Dalam praktik, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai sama sekali. Bagaimana pun juga ilmu pengetahuan berkembang dan bertumbuh dalam masyarakat yang memiliki nilai dan norma. Tetapi di lain pihak, ilmu pengetahuan tidak bisa diberi beban berlebihan untuk memperhatikan selalu nilai-nilai. Dalam filsafat ilmu, harus membedakan konteks penemuan ilmu (context of discovery) dan konteks pembuktian ilmu (context of justification). Dalam konteks pembuktian atau justifikasi, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai. Sementara dalam konteks penemuan ilmu, demi alasan objektivitas, ilmu pengetahuan tentu bisa bebas nilai.
Untuk melihat apakah ilmu bebas nilai atau terikat nilai, maka harus dilihat dari dua aspek; pertama, etika teleologis (tujuan ilmu), kedua, etika ontologis (hakikat ilmu). Jadi ilmu pengetahuan dalam tataran teoritis bebas nilai dalam arti secara ontologis, kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama, etnis, ideology dan bangsa. Kecuali nilai yang boleh mengikat adalah kebenaran/ hikmah/ kebijaksanaan. Dalam tataran praktis ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai universal yaitu mengabdi untuk kebenaran. Berdasarkan uraian di atas, tidak mungkin ilmu lepas dari nilai.
Jadi, ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai hidup karena ilmu  dapat berkembang dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak  terpisahkan dalam perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai hidup harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu jika praktiknya mengandung tujuan yang rasional. Dapat  dipahami bahwa mengingat di satu pihak objektifitas merupakan ciri mutlak  ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada  nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang  dibuatnya.

C.    ALTRUISME
Kata altruisme pertama kali muncul pada abad ke-19 oleh sosiologis Auguste Comte. Berasal dari kata yunani “alteri” yang berarti orang lain. Menurut Comte, seseorang memiliki tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya. Sehingga altruisme menjelaskan sebuah perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan orang lain. Jadi, ada tiga komponen dlm altruisme, yaitu loving others, helping them doing their time of need, dan making sure that they are appreciated. Menurut Baston, altruisme adalah respon yang menimbulkan positive feeling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altruistik tersebut muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan positive feeling sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain.
Alasan internal tersebut tidak akan memunculkan egoistic motivation (egocentrism). Suatu tindakan altuistik adalah tindakan kasih yang dalam bahasa Yunani disebut agape. Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesama dengan baik semata-mata untuk tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama. Suatu tindakan altruistic tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan. Istilah tersebut disebut moralitas altruistik, dimana tindakan menolong tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tetapi diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Dari hal tersebut, seseorang yg altruist dituntut memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.
Menurut Mandeville, altruisme memiliki motivasi dengan tujuan akhir meningkatkan kesejahteraan orang lain tidak mungkin terjadi (atau hanya khayalan). Menurutnya, motivasi untuk semua hal didasari oleh egoistic. Tujuan akhir selalu untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi “seseorang menolong orang lain hanya untuk keuntungan dirinya”. Tetapi hal tersebut dibantah oleh penelitian yg dilakukan oleh Baston & Ahmad, yang menyatakan bahwa altruisme itu ada dan dapat dikembangkan dengan emphaty. Altruisme menurut Myers adalah salah satu tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran akan timbal-balik (imbalan).
Tiga teori yang dapat menjelaskan tentang motivasi seseorang melakukan tingkah laku altruism adalah sebagai berikut :
1. Social – exchange
Pada teori ini, tindakan menolong dapat dijelaskan dengan adanya pertukaran sosial-timbal balik (imbalan-reward). Altruisme menjelaskan bahwa imbalan-reward yang memotivasi adalah inner-reward (distress). Contohnya adalah kepuasan untuk menolong atau keadaan yang menyulitkan (rasa bersalah) untuk menolong.
2. Social Norms
Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh ”sesuatu” yang mengatakan pada kita untuk ”harus” menolong.”sesuatu” tersebut adalah norma sosial. Pada altruisme, norma sosial tersebut dapat dijelaskan dengan adanya social responsibility. Adanya tanggungjawab sosial, dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan menolong karena dibutuhkan dan tanpa menharapkan imbalan di masa yang akan datang.
3. Evolutionary Psychology
Pada teori ini, dijelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan. Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila ”orang lain” yang akan disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik). Contohnya: seseorang menolong orang yang sama persis dengan dirinya – keluarga, tetangga, dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, Myers menyimpulkan altruisme akan dengan mudah terjadi dengan adanya :
1. Social Responsibility, seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial dgn yg terjadi di sekitarnya.
2. Distress – inner reward, kepuasaan pribadi-tanpa ada faktor eksternal.
3. Kin Selection, ada salah satu karakteristik dari korban yang hampir sama .
Karakteristik altruisme
Selain hal tersebut, Myer menjelaskan karakteristik dari tingkah laku altruisme, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Emphaty, altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalamdiri seseorang. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka bertanggungjawab, bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan termotivasi membuat kesan yang baik.
2. Belief on a just world, karakteristik dari tingkah laku altruisme adalah percaya pada “a just world”, maksudnya adalah orang yang altruis percaya bahwa dunia adalah tempat yang baik dan dapat diramalkan bahwa yang baik selalu mendapatkan ”hadiah” dan yang buruk mendapatkan ”hukuman”. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat denga mudah menunjukkan tingkah laku menolong (yang dapat dikategorikan sebagai ”yang baik”).
3. Social responsibility, setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain, sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya.
4. Internal LOC, karakteristik selanjutnya dari orang yang altruis adalah mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya dimotivasi oleh kontrol internal (misalnya kepuasan diri).
5.Low egocentricm, seorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan kepentingan dirinya.
Indikator Tingkah Laku Altruisme
Dari penjelasan definisi altruisme tersebut, kami menyimpulkan indikator tingkah laku seseorang yang altruis indikator tingkah laku atruisme tersebut adalah sebagai berikut :
1. Empati. Seseorang yang altruis merasakan perasaan yang sama sesuai dengan situasi yang terjadi.
2. Interpretasi. Seseorang yang altruis dapat mengiterpretasikan dan sadar bahwa suatu situasi membutuhkan pertolongan.
3. Social responsibility. Seseorang yang altruis merasa bertanggung jawab terhadap situasi yang ada disekitarnya.
4. Inisiatif. Seseorang yang altruis memiliki inisiatif untuk melakukan tindakan menolong dengan cepat dan tepat.
5. Rela berkorban. Ada hal yang rela dikorbankan dari seseorang yang altruis untuk melakukan tindakan menolong.

D.    ALTRUISME – NASIONALIS
Altruisme adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Nasionalis adalah wujud cinta kebangsaan bernegara yang memperjuangkan kepentingan bangsa. Jadi, altruisme nasionalis adalah suatu tindakan suka rela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan demi kepentingan bangsa atas dasar cinta akan bangsa dan negaranya.
 
E.     CONTOH APLIKASI TINDAKAN ALTRUISME-NASIONALIS
Film 2012
Di dalam film ini peran seorang pemimpin Negara sangatlah penting karena bencana ini menyangkut nyawa orang banyak, dalam film ini nampak aktor yang berperan sebagai presiden obama sangat berwibawa beliau sama sekali tidak memikirkan dirinya tetapi memikirkan rakyatnya yang sedang tertimpa bencana itu. Dari sini peneliti tertarik untuk meneliti sosok pemimpin negara dalam menghadapi bencana yang ada pada film “2012”. Sikap berkorban untuk orang lain dan lebih mementingkan kepentingan orang lain dari pada diri sendriri adalah sikap Altruisme yang mempunyai arti bahwa seseorang itu mempunyai jiwa kepedulian dan jiwa menolong yang tinggi hingga seseorang tersebut rela mengorbankan dirinya untuk orang lain.
Dalam film ini dijelaskan bahwa sikap altruisme sangat kental sekali dalam jiwa seorang pemimpin, seorang presiden yang dituntut untuk bisa menyelamatkan rakyatnya dari bahaya kepunahan massal yang akan terjadi harus berpikir cepat bagimana untuk menyelamatkan rakyatnya ia pun rela mengorbankan diri karena memang hal itu diluar kesanggupannya nilai Altruisme adalah nilai yang luhur yang berarti lebih mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri, idiologi ini merupakan suatu nilai luhur yang dimiliki seorang pemimpin Negara dalam film 2012.

DAFTAR PUSTAKA

Karim, R., 1996, Arti dan Keberadaan Nasionalisme, Dalam Analisis CSIS, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2529695108.pdf, Diakses pada tanggal 30 November 2011
Keraf, A. S. & Dua, M., 2001, Ilmu Pengetahuan. Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius, Yogyakarta
Marzoeki, D., 2000, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Grasindo, Jakarta
Marzoeki, D., 2007, Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains, UGM, Yogyakarta
Richard, M., 2009, Etika Pastoral, Kanisius, Yogyakarta
Sumadewi, http://www.scribd.com/doc/38829380/FILSAFAT-ILMU
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032 RAHAYU_GININTASASI/agresi_dan_altruisme.pdf
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1872677-filsafat-ilmu-sebuah-pengantar-populer/#ixzz1cLnX2sIc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar