Sabtu, 07 Juli 2012

Gangguan Kecemasan


GANGGUAN KECEMASAN

            Gangguan kecemasan sering kali dialami oleh semua orang. Baik itu kecemasan yang timbul karena urusan pribadi, urusan sekolah, urusan kantor, dan lain sebagainya. Contoh yang sering terjadi misalnya gangguan kecemasan yang terjadi yang dialami oleh staf ahli periklanan akibat tingginya tekanan pekerjaan di kantornya yang semakin menumpuk. Menjadi seorang staf ahli periklanan, dituntut oleh perusahaan harus memberikan ide/gagasan tentang iklan-iklan yang menarik, beda, dan sekreatif mungkin dan itu biasanya minimal dua ide/gagasan iklan dalam sehari harus diberikan kepada perusahaan tempat ia bekerja. Bila staf ahli ini berhasil, maka dia dapat memperoleh penghargaan/bonus dari perusahaan, namun ketika suatu hari ia sama sekali tidak memperoleh ide/gagasan untuk membuat iklan, maka ia akan merasa tertekan, cemas, stres, karena dikejar deadline perusahaan.

A.     DEFINISI/TERMINOLOGI KECEMASAN
Kecemasan (anxiety) dapat diartikan sebagai perasaan kuatir, cemas, gelisah, dan takut yang muncul secara bersamaan, yang biasanya diikuti dengan naiknya rangsangan pada tubuh, seperti: jantung berdebar-debar, keringat dingin. Kecemasan dapat timbul sebagai reaksi terhadap "bahaya" baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang tidak (hasil dari imajinasi saja) yang seringkali disebut dengan "free-floating anxiety" (kecemasan yang terus mengambang tanpa diketahui penyebabnya) (Susabda, 2010).
Menurut penyebab, dan lama berlangsungnya, kecemasan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yakni:
1.      Phobic Anxiety, yaitu kecemasan yang timbul dikarenakan oleh phobia (ketakutan) tertentu, misalnya:
Ø Cemas ketika tidur di ruang yang gelap.
2.      Acute Anxiety, ialah kecemasan yang muncul mendadak dengan intensitas yang tinggi, tapi tidak terlalu lama akan lenyap, misalnya:
Ø  Ketika melihat orang yang mirip dengan pembunuh keluarganya, ia segera ketakutan dan beberapa saat setelah orang tadi pergi ia tenang kembali.
3.      Chronic Anxiety, yakni kecemasan yang berlangsung lama dan terus menerus (dapat terjadi seumur hidup), meski dalam intensitas yang rendah, dan tanpa sebab yang jelas, misalnya:
Ø  Hendak bepergian, selalu ingin kencing.
4.      Normal Anxiety, yaitu kecemasan yang beralasan, misalnya:
Ø Menjelang ujian, perasaan cemas muncul begitu besar.
5.      Neurotic Anxiety, ialah kecemasan tanpa alasan yang jelas sebagai akibat konflik alam bawah sadar, misalnya:
Ø Sering punya perasaan bersalah akibat seringnya dipersalahkan pada masa kecil, dan kini muncul menjadi kecemasan yang berlarut-larut serta secara periodik muncul (Susabda, 2010).
Kecemasan akan muncul ketika ada Id (rangsangan naluri yang menuntut pemuasan segera), Ego (bagian dari keprobadian manusia yang memberi kesadaran akan adanya dunia di luar dirinya, dan kemungkinan berorientasi pada realita), dan Super ego (kesadaran moral akan apa yang baik dan jahat).

B.     TEKANAN PEKERJAAN
Tekanan pekerjaan (Job-Related Stress) merupakan fungsi positif dari perbedaan antara permintaan kinerja  dari setiap pekerjaan dengan kemampuan kinerja secara individu. Tekanan pekerjaan (job-related stress) ini timbul karena meningkatnya stress sebagai akibat dari permintaan pekerjaan secara meningkat melebihi kemampuan kinerja dari pekerja (Edwards, 1996).
Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan kinerja yang diinginkan dalam tugas berhubungan negatif antara tekanan pekerjaan dan kinerja pekerjaan. Di sini seseorang akan merasa cemas atau stress akibat dari ketidakcocokan orang tersebut dengan tugas yang diinginkan atau tugas yang overload dan dikejar deadline terus menerus maka hal tersebut akan dapat meningkatkan  rasa kecemasan hingga stress.  Setiap individu mempunyai ketidakpastian yang besar terhadap kemungkinan hasil dari  pekerjannya atau bagaimana usaha-usahanya akan mempengaruhi kinerja mereka. Adanya ketidakpastian yang besar terhadap pencapaian hasil tersebut akan berakibat pada perasaan  cemas yang akan mempengaruhi kinerja mereka (Kiryanto, 2006)

C.     IKLIM KOMPETISI DI DUNIA KERJA
Persaingan dunia kerja saat ini semakin meningkat sehingga  menyebabkan manusia menghabiskan waktunya untuk terus bekerja dan bekerja. Dalam dunia kerja terdapat dua pilihan dalam kompetisi di dunia kerja, yaitu kalah dalam kompetisi atau berkreasi/berinovasi. Sifat dasar manusia yang terkadang tidak mau kalah dalam pekerjaan yang digelutinya membuat manusia mendapatkan tekanan untuk bisa lebih baik lagi dan terus menjadi yang terbaik. Kompetisi dalam dunia kerja, bukan hanya dilihat dari kepintaran menyelesaikan pekerjaan saja yang dituntut, tetapi kesiapan mental dalam berbagai situasi yang mendadak (Kurniawati, 2007).
Persaingan kerja yang semakin sengit menuntut setiap pekerja untuk lebih kreatif dalam mengembangkan potensi diri. Namun terkadang ada titik di mana seseorang akan merasa jenuh dan “blank” dalam mencari kreatifitas, gagasan-gagasan, atau ide-ide baru. Hal inilah yang terkadang menjadi alasan seseorang mengalami gangguan kecemasan dalam pekerjaannya.

D.     TATA CARA PENGOBATAN
Dalam mencegah dan mengobati gangguan kecemasan yang dialami seseorang dapat dilakukan terapi secara non farmakologi maupun terapi farmakologi.
Ø  Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan, yaitu :
ü  Penderita disarankan melakukan refreshing sesering mungkin.
ü  Hipnoterapi, meditasi, dan yoga.
ü  Melakukan pendekatan-pendekatan psikologis, misalnya dengan Emotional Freedom Technique, yaitu suatu terapi dengan memanfaatkan energi yang ada dalam tubuh dengan cara menstimulasi pada titik-titik meridian tubuh untuk memperbaiki aliran energi tubuh.
ü  Olahraga, mengatur pola makan, dan istirahat yang cukup.
ü  Berdoa.
Ø  Terapi Farmakologi
ü  Menggunakan obat penenang/anti cemas (Ansietas), contohnya Antidepressant, Antihistamines, dan Benzodiazepines. Tetapi harus diperhatikan cara pemakaian, dosis pemakaian dan efek samping yang ditimbulkannya, serta jangan dikonsumsi sesering mungkin (dapat menimbulkan ketergantungan).
ü  Menggunakan stimulansia, contohnya Metilfenidat.



DAFTAR PUSTAKA

Edwards, J. 1996. An Examination of  Competing Versions of The PersonEnvironment Fit Approach to Stress. Academy of  Management Journal. 39, 292-339
Kiryanto, 2006, Desain dan Pengaruh Sistem Kontrol : Pengujian Model Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung, Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang
Kurniawati, S., 2007, Berkarir dan Bersaing dalam Dunia Kerja, 2, Program Studi Ekonomi dan Koperasi UI, Jakarta
Susabda, 2010, Seri Sikap Hati : Kecemasan, Penerbit Gandun Mas, Malang

Jumat, 06 Juli 2012

Farmakokinetika Klinik

FARMAKOKINETIKA KLINIK

Definisi
Farmakokinetika klinik adalah aplikasi dari prinsip-prinsip farmakokinetika pada manajemen terapi. Manajemen terapi yang dimaksudkan ini adalah aturan dosis, meliputi besar dosis (how much), frekuensi pemberian (how often), dan lama masa pemberian (how long).

Manajemen Terapi
Manajemen terapi ditentukan oleh tujuan terapi. Tujuan terapi diantaranya:
1.    Menyembuhkan, contohnya antibakteri.
2.    Meringankan gejala, contohnya obat influenza.
3.    Mencegah, contohnya multivitamin.
4.    Menghentikan keparahan, contohnya antihipertensi.
Keberhasilan tujuan terapi ini dicapai bila manajemen terapi dan obat pilihannya tepat. Kedua hal ini harus dalam range terapetik.
Latar belakang dari farmakokinetika klinik adalah variabilitas pasien; tuntutan pasien; serta regulasi dan apresiasi prediksi nilai farmakokinetika. Variabilitas pasien merupakan perbedaan karakteristik pada pasien. Yang termasuk dalam variabilitas pasien adalah dosis individu. Tuntutan pasien merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan pasien, misalnya masa lalu permasalahan terapi yi trial and error, spesialisasi ilmu kedokteran, dan bermacam-macam obat baru semakin berkembang di dunia. Yang dimaksud dengan regulasi dan apresiasi prediksi nilai farmakokinetika ini misalnya tuntutan data klinik atau sertifikat bioavaibilitas/bioekuivalen dan penghargaan terhadap prediksi nilai farmakokinetika terhadap tujuan terapi.
Bagi farmasis, aplikasi farmakokinetika klinik terletak pada riset atau uji klinik dan penentuan dosis individu. Aplikasi ini dapat dijabarkan sebagai berikut: peningkatan pengetahuan dan keterampilan farmasi klinik dalam hal peningkatan kemampuan dalam monitoring peresepan (dosis obat, frekuensi penggunaan, lama masa pemberian, nama obat yang hampir mirip, dan komposisi obat termasuk potensi interaksinya) serta pemberian informasi obat. Permasalahan dalam pemberian informasi obat yaitu dalam mengidentifikasi kerasionalan pemakaian obat (kemanjuran dan keamanan) dan menjamin penggunaan obat yang rasional dengan memperhatikan 4T1W (tepat obat, tepat pasien, tepat  aturan pakai, tepat cara pakai, serta waspada efek samping dan efek obat).

Nasib Obat dalam Tubuh
Ketika obat terabsorpsi ke dalam tubuh secara per oral, obat akan mengalami first past effect, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik. Yang terdapat dalam sirkulasi sistemik hanya obat bebas, di mana akan berikatan dengan reseptor untuk menimbulkan efek, sedangkan obat yang lain akan berikatan dengan protein darah. Obat bebas di dalam jaringan akan berubah menjadi obat terikat dan selanjutnya akan berubah menjadi obat terikat dan akan berubah lagi dalam bentuk bebas yang akan mengalami eliminasi. Eliminasi yang terjadi ini dapat mengalami biotransformasi atau ekskresi. Obat yang mengalami biotransformasi akan keluar dari ginjal, sedangkan obat yang mengalami ekskresi akan keluar dari ginjal.
Tahap-tahap yang dilalui obat di dalam tubuh adalah sebagai berikut:
1.      Absorpsi
Adalah proses masuknya molekul obat dari tempat pemberian ke sirkulasi sistemik. Contohnya supositoria, yang diabsorpsi secara intravaskuler. Parameter absorpsi adalah ka (konstanta absorpsi) (jam-1/menit -1).
2.      Distribusi
Adalah penyebaran obat yang masuk ke sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh. Contohnya Imipramine (obat depresi) dengan Vd = 1000, yang terdistribusi ke jaringan yang sangat dalam. Parameter distribusi adalah Vd (volume distribusi). Apabila range Vd > 40 L maka dapat terdistribusi dalam jaringan yang sangat dalam, angka Vd yang tinggi menunjukkan penyimpangan obat yang besar di dalam tubuh.
3.      Eliminasi
Adalah proses yang menyebabkan penurunan atau penghilangan konsentrasi obat dalam tubuh. Proses eliminasi dibagi menjadi 2 yaitu metabolisme dan ekskresi. Pada tahap metabolisme terjadi reaksi fase 1 dan reaksi fase 2. Reaksi fase 1 di mana obat diubah menjadi lebih polar, sedangkan pada reaksi fase 2 adanya reaksi konjugasi untuk menambah kepolaran. Proses ekskresi adalah proses pembuangan zat-zat sisa yang ada di dalam tubuh. Untuk obat yang lebih polar akan diekskresikan melalui ginjal. Parameter eliminasi adalah clearance (Cl) (L/jam), kel (jam-1), dan t ½ (jam).
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi adalah :
a.    Umur
Semakin tua umur, fungsi organ semakin turun. Pada bayi berumur 1 bulan, fungsi organ belum sempurna. Contohnya pada kasus bayi yang mengalami demam, dokter selalu memberikan paracetamol bukan ibuprofen. Hal ini dikarenakan paracetamol jalur utama biotransformasinya adalah sulfatasi, pada bayi enzim pertama yang dibentuk adalah enzim sufatasi, sedangkan pada ibuprofen jalur biotransformasinya adalah jalur glukoronidasi yang pada bayi belum ada enzim yang terbentuk untuk jalur tersebut.
b.    Genetika
Genetika mempengaruhi proses eliminasi, contohnya adalah ras tertentu seperti warna kulit, di mana perbedaan ras ini mempengaruhi tingkat eliminasi obat ( orang jepang vs orang eskimo).
c.    Sex
Sex atau gender terdapat perbedaan namun tidak bermakna.
d.    Kebiasaan merokok atau minum alkohol
Kedua kebiasaan ini dapat menyebabkan kerusakan hati dan paru-paru, jika hal ini terjadi dapat mempengaruhi proses eliminasi.
e.    Keadaan patologis organ eliminasi

Clearance (Cl) adalah volume cairan tubuh yang dibersihkan dari obat per satuan waktu (L/jam). Dengan clearance dapat diketahui regimen terapi. Clearance berbeda dengan laju eliminasi, tetapi masih saling berhubungan. Untuk obat ginjal, clearace renal paling penting.
Total body clearance merupakan tetapan dan jumlah dari clearance semua organ. Untuk menghitung Clearance total digunakan persamaan sebagai berikut :
Cltotal = Clkidney + Clsaliva + Cllungs
                                     Cltotal = 0.693 (Vd)
                                                      t 1/2 



Daftar Pustaka
Kuliah Farmakokinetika Klinik, 2012.

Tanin

TANIN

A.      Pengertian Tanin
Tanin merupakan suatu substansi yang banyak dan tersebar, sehingga sering ditemukan dalam tanaman. Tanin diketahui mempunyai beberapa khasiat, yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri dan antioksidan. Istilah tanin sendiri berasal dari bahasa Perancis, yaitutanning. Pada mulanya senyawa tannin lebih dikenal sebagai tanning substance dalam proses penyamakan kulit hewan untuk dibuat sebagai kerajinan tangan.
Struktur Tanin

Pada umumnya tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki berat molekul (BM) yang cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Berdasarkan strukturnya, tanin diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.
1.    Tanin Terhidrolisis
Tanin terhidrolisis biasanya berikatan dengan karbohidrat yang dapat membentuk jembatan oksigen, sehingga dapat  dihidrolisis dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida. Gallotanin merupakan salah satu contoh tanin terhidrolisis, di mana gallotanin ini merupakan senyawa berupa gabungan dari karbohidrat dan asam galat. Selain itu, contoh lainnya adalah ellagitanin (tersusun dari asam heksahidroksidifenil).
Secara singkat, apabila tanin mengalami hidrolisis, akan terbentuk fenol polihidroksi yang sederhana, misalnya piragalol, yang merupakan hasil dari terurainya asam gallat dan katekol yang merupakan hasil dari hidrolisis asam protokatekuat. Tanin terhidrolisiskan biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna cokelat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk larutan koloid bukan larutan sebenarnya. Makin murni tanin, makin kurang kelarutannya dalam air dan makin mudah diperoleh dalam bentuk kristal.
2.    Tanin Terkondensasi
Tanin terkondensasi biasanya tidak dapat dihidrolisis, melainkan terkondensasi di mana menghasilkan asam klorida. Tanin terkondensasi kebanyakan terdiri dari polimer flavonoid. Tanin jenis ini dikenal dengan nama Proanthocyanidin yang merupakan polimer dari flavonoid yang dihubungan dengan melalui C 8 dengan C4, contohnya  Sorghum procyanidin yang tersusun dari catechin dan epiccatechin.

Klasifikasi Tanin berdasarkan warna dari garam ferri (FeCl3), dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.    Katekol
Berwarna hijau dengan 2 gugus fenol. Misalnya : Flobatanin dan Pirokatekol. Memiliki sifat-sifat  sebagai berikut :
ü  Apabila dipanaskan akan menghasilkan katekol
ü  Apabila didihkan dengan HCl  akan menghasilkan flobapin yang berwarna merah.
ü  Apabila ditambahkan  FeCl3 akan berwarna hijau.
ü  Apabila ditambahkan larutan Br akan terbentuk endapan.
Contoh Katekol : Asam kirotamat (pada kina) dan asam katekotanat (pada gambir).
b.    Pirogalatanin (pirogalol)
Berwarna biru dengan FeCl3 dengan 3 gugus fenol. Memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
ü  Apabila dipanaskan akan terurai menjadi pirogalol.
ü  Apabila dididihkan dengan HCl akan dihasilkan Asam gallat dan Asam ellag.
ü  Apabila ditambahkan dengan FeCl3 akan berwarna biru.
ü  Apabila ditambahkan brom tidak akan terbentuk endapan.
Contoh Pirogalatanin : Gallotanin (pada gallae) dan Ellagitanin (pada Granati cortex)

B.       Distribusi Tanin
Tanin terdistribusi atau tersebar hampir pada seluruh bagian tumbuhan, seperti pada daun, batang, kulit kayu, dan buah. Distribusi tanin ini hampir  di seluruh spesies tanaman dan biasanya ditemukan pada gymnospermae dan angiospermae. Tanin  terletak di vakuola atau bagian permukaan tanaman. Bagian yang bertindak sebagai penyimpanan tetap tannin, akan aktif terhadap organisme pemangsa. Selaitu itu, penyimpanan tanin yang sifatnya sementara, dapt mempengaruhi metabolisme jaringan tanaman hidup, namun  hanya ketika setelah sel mengalami kerusakan atau kematian, sehingga tanin akan aktif untuk memberikan efek metabolik.
Tanin ditemukan di daun, tunas, biji, akar, batang dan jaringan, misalnya pada jaringan xilem dan floem, dan pada lapisan antara korteks dengan epidermis. Tanin yang ada, dapat membantu dalam pertumbuhan jaringan tersebut.

C.      Sifat-sifat Tanin
Untuk membedakan tanin dengan senyawa metabolit sekunder lainnya, dapat dilihat dari sifat-sifat dari tanin itu sendiri. Sifat-sifat tanin, antara lain :
1.        Sifat Fisika.
Sifat fisika dari tanin adalah sebagai berikut :
Ø Apabila dilarutkan ke dalam air, tanin  akan membentuk koloid dan akan memiliki rasa asam dan sepat.
Ø Apabila dicampur dengan alkaloid dan glatin, maka  akan terbentuk endapan.
Ø Tanin tidak dapat mengkristal.
Ø Tanin dapat mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan
protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.
2.        Sifat Kimia
Sifat kimia dari tanin adalah sebagai berikut :
Ø Tanin merupakan senyawa kompleks yang memiliki bentuk campuran polifenol yang Sulit untuk dipisahkan sehingga sulit membetuk kristal.
Ø  Tanin dapat diidentifikasi dengan menggunakan kromotografi
Ø Senyawa fenol yang ada pada tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptic dan
pemberi warna.
3.        Sifat sebagai pengkhelat logam.
Fenol yang ada pada tanin, secara biologis dapat berguna sebagai khelat logam. Mekanisme atau proses pengkhelatan akan terjadi sesuai dengan pola subtitusi dan pH senyawa fenol itu sendiri. Hal ini biasanya terjadi pada tanin terhidrolisis, sehingga memiliki kemampuan untuk menjadi pengkhelat logam.
Khelat yang dihasilkan dari tanin ini dapat memiliki daya khelat yang kuat dan dapat membuat khlelat logam menjadi lebih stabil dan aman di dalam tubuh. Namun, dalam mengkonsumsi tanin harus sesuai dengan kadarnya, karena apabila terlalu sedikit (kadarnya rendah) tidak akan memberikan efek, namun apabila mengkonsumsi terlalu banyak (kadar tinggi) dapat mengakibatkan anemia karena zat besi yang ada dalam darah akan dikhelat oleh senyawa tanin tersebut.

D.    Metode Penetapan Kadar Tanin
Kadar tanin dapat ditetapkan dengan menggunakan berbagai macam metode. Metode yang biasanya digunakan untuk menentukan kadar tanin total adalah sebagai berikut :
1.        Metode Gravimetri
Analisis dengan menggunakan metode gravimetri adalah cara analisis kuantitatif berdasarkan berat tetap (berat konstan)-nya. Reagen atau pereaksi yang ditambahkan adalah berlebih untuk menekan kelarutan endapan.
2.        Metode volumetri/permanganometri
Berdasarkan reaksi kimianya, metode volumetri dikelompokkan menjadi 4 jenis reaksi, yaitu reaksi asam-basa, reaksi redoks, reaksi pengendapan, dan reaksi pembentukan kompleks.
3.        Metode Kolorimetri
Contoh metode penetapan kadar tanin dari sebuah paper, misalnya dengan menggunakan metode kolorimetri dalam menentukan jumlah tanin total pada daun Jati Belanda, menggunakan pereaksi biru prusia. Prinsipnya yaitu reaksi reduksi senyawa besi (III) menjadi senyawa besi (II) oleh tanin membentuk warna biru-hitam selanjutnya dengan penambahan pereaksi biru prusia, akan membentuk suatu kompleks berwarna biru tinta yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer pada daerah sinar tampak.
Reaksi yang teradi adalah sebagai berikut :
Fe 3+  +  tanin →  Fe 2+
Fe 2+  +  K3Fe(CN)6 →  3KFe[Fe(CN)6]
Kompleks yang terbentuk berwarna biru tinta.
Pada metode penentuan jumalah tanin total dengan menggunakan pereaksi biru prusia secara kolorimetri diperoleh kurva kalibrasi asam tanat dengan persamaan y = 0,2767x – 0,0386, dengan r = 0,9982.

E.       Identifikasi Senyawa Tanin
Dalam melakukan identifikasi senyawa tanin dari suatu tanaman, dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk menganalisam secara kulitatif senyawa tanin, dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut :
v  Memberikan larutan FeCl3  yang berwarna biru tua / hitam kehijauan.
v  Menambahkan Kalium Ferrisianida yang ditambahkan dengan amoniak berwarna cokelat.
v  Mengendapkan dengan garam Pb, Sn, Cu, dan larutan Kalium Bikromat berwarna cokelat
 Untuk menganalisis senyawa tanin secara kuantitatif dapat diguanakan metode sebagai berikut :
v  Metode analisis berdasarkan gugus fungsinya.
v  Dengan menggunakan kromatografi, seperti HPLC dan UV-Vis.
v  Metode analisis fenol secara umum, menggunakan pereaksi blue prussian dan pereaksi Folin.
v  Metode presipitasi dengan menggunakan protein.

F.       Manfaat Tanin
Sebagai senyawa metabolit sekunder, tanin memiliki banyak manfaat dan kegunaan. Manfaat dan kegunaan tanin adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai anti hama untuk mencegah serangga dan fungi pada tanaman.
2.      Sebagai pelindung tanaman ketika masa pertumbuhan dari bagian tertentu tanaman, misalnya pada bagian buah, saat masih muda akan terasa pahit dan sepat.
3.      Sebagai adstrigensia pada GI dan kulit.
4.      Untuk proses metabolisme dari beberapa bagian tanaman.
5.      Dapat mengendapkan protein sehingga digunakan sebagai antiseptik.
6.      Sebagai antidotum (keracunan alkaloid).
7.      Sebagai reagen pendeteksi gelatin, alkaloid, dan protein.
8.      Sebagai penyamak kulit dan pengawet.

G.    Kesimpulan
Tanin merupakan suatu substansi yang banyak dan tersebar pada tanaman. Berdasarkan strukturnya, tanin diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.
Tanin ditemukan di daun, tunas, biji, akar, batang dan jaringan, misalnya pada jaringan xilem dan floem, dan pada lapisan antara korteks dengan epidermis. Untuk membedakan tanin dengan senyawa metabolit sekunder lainnya, dapat dilihat dari sifat-sifat dari tanin itu sendiri, seperti sifat fisika, kimia, dan sebagai pengkhelat logam.
Ada beberapa metode dalam melakukan penetapan kadar tanin, metode-metode tersebut antara lain metode gravimetri, volumetri, dan kolorimetri. Tanin diketahui mempunyai beberapa khasiat, yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri dan antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009, http://library.usu.ac.id/download/fp/Hutan-Iwan6.pdf, Diakses pada tanggal 7 Mei 2011

Anonim, 2009, http://staff.unud.ac.id/~madeutama/wp-content/uploads/2009/06/8-ethanol-salak.pdf, Diakses pada tanggal 5 Mei 2011-05-09

Anonim, 2010, http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/8208106109.pdf, Diakses pada tanggal 5 Mei 2011

Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, edisi keenam, 71-72 Penerbit ITB, Bandung

Sudjadi, 2010, Kimia Farmasi Analisis, 91, 122, Pustaka Pelajar, Yogyakarta